Perempuan harus mandiri secara finansial

 

perempuan-mandiri-secara-finansial

Itu salah topik argumen diskusi saya beberapa waktu lalu. Berawal dari cerita seorang teman yang akan menikah, dan (calon) suaminya tidak memperbolehkan dia bekerja lagi setelah menikah nanti. Klise ya? Saya sudah cukup sering mendengar cerita seperti itu. Hanya bedanya, mungkin, teman yang satu ini adalah perempuan dengan karir menjanjikan di pekerjaan yang sangat dia cintai. Intinya, dia tidak mau berhenti. Dan dia nanya bagaimana caranya saya bisa menyakinkan suami agar bisa tetap bekerja.

Hmmmm, pertanyaan sulit ya 😉

Sejak masih pacaran dan mau serius, saya udah cukup sering diskusi dengan suami masalah ini. Untungnya, Pak Suami juga bukan tipe lelaki yang melarang istri bekerja. Cocok buat saya.

Saya memang bukan tipe perempuan yang bisa diam di rumah tanpa mengerjakan sesuatu apa pun. Saya stress, tidak bahagia, dan imbasnya pasti akan buruk juga untuk orang-orang di sekitar saya. Saya kalau nggak bahagia emang jadi seperti dementor, siap menghisap kebahagiaan orang lain! 😀

Jadi saya tidak perlu menyakinkan dia apa-apa, bukan? Hanya janji (saya jago kalo janji hehhee), kalau insya Allah saya tahu kedudukan saya, fungsi saya, dan tanggung jawab saya. Sama dia, sama keluarga. Kalau lupa, ya tolong ingatkan, TAPI jangan dilarang hehehe…

Apa ya kira-kira alasan sang suami melarang istrinya bekerja lagi?

Ada yang bilang, mungkin karena:

1) memang sang suami sudah mampu untuk memenuhi semua kebutuhan keluarganya sendiri, tanpa harus double-income dengan istri.

Atau bisa juga

2) karena ada ketakutan sang suami kalau istrinya punya penghasilan sendiri, jadi tidak menghargai suami sebagai kepala keluarga. Apalagi kalau penghasilan istri lebih tinggi.

Hmmm…buat saya, kedua alasan itu sama saja. Terdengar seperti ego lelaki 🙂

Dalam satu percakapan iseng dengan teman lelaki saya tentang larangan bekerja ini (dia tidak memperbolehkan istrinya bekerja, jadilah istrinya di rumah saja sekarang), mendengar semua argumentasi bin alasannya, spontan saya bilang dia egois. Untungnya kami sudah biasa saling kritik, jadi sudah kebal tersinggung dikritik apapun 😉

Sekarang mungkin penghasilannya jauh lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, lengkap dengan berbagai fasilitas hidup yang nyaman.

Tapi sampai kapan?

Kita kan nggak tau apa yang akan terjadi di depan nanti.

Maut, jodoh, rezeki, semua di tangan Tuhan. Maksimal yang bisa kita lakukan adalah mempersiapkan kalau sesuatu yang buruk/tidak diinginkan terjadi, iya toh?

Kalau nanti ada apa-apa dengan suami sebagai pencari nafkah utama (dan satu-satunya, kalau si istri tidak punya penghasilan sendiri), bagaimana dengan keluarga?

Ada satu hal lagi yang penting menurut saya, kenapa perempuan harus mandiri secara finansial.

Saya perempuan. Punya banyak saudara perempuan. Punya banyak sahabat perempuan. Melihat banyak perempuan di sekeliling saya, dengan masalahnya masing-masing.

Mau mengakui atau tidak, perempuan terkadang terbawa perasaan dalam menentukan keputusan apapun. Pada sebagian besar perempuan, rasio logika vs perasaan sama seperti rasio irisan celeng panggang yang dimakan Asterix vs Obelix (duh, perumpamaan saya :P). Bukan bermaksud gender ya, tapi itu yang saya lihat.

Dan akuilah lagi, terkadang terbawa perasaan itu, kita tidak selalu mengambil keputusan yang benar.

Saya punya cerita, 2 kasus nyata. Saya kenal dekat dengan mereka.

1.  Sebut saja X. Perempuan, cantik tentu (nggak ada perempuan yang jelek menurut saya), punya anak 3 orang. Suaminya ternyata sejak baru menikah, kerap memukulinya. Menjadikannya bak sparring partner dalam ring tinju. Hanya saja, dia tidak bisa melawan. Pertimbangannya? Anaknya sudah 3. Kalau mereka bercerai, anak-anak diberi makan apa? Sekolahnya bagaimana? Dia sendiri tidak bekerja.

2. Sebut saja Y. Perempuan juga, cantik juga. Anaknya 2 orang. Karirnya bagus. Di usianya yang 40 tahunan dia sudah jadi senior manager di satu perusahaan besar. Suaminya wartawan di sebuah media. Karena suatu kasus, suaminya bermasalah dengan atasannya di kantor. Entah bagaimana, suaminya jadi korban kambing di kantor, kantor menolak membayar gajinya bahkan hampir 1 tahun. Mereka sempat maju ke pengadilan juga, tapi akhirnya malah cuman ngabisin uang. Untung istrinya bekerja, punya penghasilan, jadi walaupun keuangan keluarga terganggu, tapi kasus ini tidak membuat anak-anak sampai putus sekolah dll.

Sebenarnya masih banyak cerita lain yang saya tau. Tapi untuk sekarang 2 contoh kasus di atas mungkin sudah cukup. 

Satu hal yang saya sepakat dengan suami, jangan pernah mengandalkan satu sumber penghasilan. Jangan hanya berdiri dengan ditopang satu kaki. Di era pandemi seperti sekarang. PHK ada dimana-mana, perekonomian lesu, sangat relevan untuk kita para perempuan mulai memikirkan sumber-sumber penghasilan lain. Baik itu lewat bekerja, jualan, kerja sambilan, apapun. Asal Halal.

The best insurance a woman can have is having her own little money.

PS: Artikel ini saya tulis tidak bermaksud menghakimi perempuan yang memilih untuk mendedikasikan semua waktunya untuk mengurus keluarga dan anak-anak. Kembali lagi, semua menjadi pilihan hidup masing-masing.

Sebagai perempuan pun, terkadang kita tidak selamanya bisa bekerja full. Ada kalanya kita harus berhenti dan mengurus prioritas lain yang datang. Baca pengalaman saya career break di sini.

 

Recommended Articles

4 Comments

  1. Bener banget sih! Namanya juga hidup pasti butuh biaya. Mau udah berkeluarga ataupun belum tetep kita harus punya keadaan financial yang cukup! Tulisan ini mengajarkan aku bahwa harus tetep cari duit! Biarpun masih mudah! Tapi jangan lupa juga seneng2 hehe.

  2. Betul!!! Justru cari uang supaya bisa bersenang-senang mba 😀

  3. Perempuan jaman sekarang memang harus setrong ya mbak. Intinya setiap keluarga harus punya tabungan supaya aman kalo ada apa-apa, dan pastinya untuk pendidikan anak-anak juga.

  4. iya mba, demi masa depan anak-anak juga, prioritasnya udah beda ya 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *