comfort zone: ketika hidup serasa di jalan tol

From wikipedia: a comfort zone denotes that limited set of behaviors that a person will engage without becoming anxious. Alternatively denoted as a “plateau” it describes that set of behaviors that have become comfortable, without creating a sense of risk.

Kali ini cerita tentang seorang sahabat. Yang sangat saya sayang. Teman berbagi untuk banyak hal.

Dia sedang gundah. Bekerja di perusahaan yang sama selama hampir 6 tahun, dan sekarang mulai jenuh. Bukan sekarang sebenarnya. Sudah lama saya mendengar cerita kebosanan dan kejenuhannya.

Hebatnya, dia masih sanggup bertahan. Salut saya. Tidak seperti saya yang sering berpikir pintas. Bosan, kesal dengan suasana kerja yang tidak kondusif, berhenti, cari kerjaan baru. Saya harus belajar banyak dari dia.

Dalam rangka belajar, menyerap energinya (siapa tau saya jadi ketularan betah di satu tempat kerja? :)), saya tanya kenapa dia mau bertahan. Yang saya tau, 2 tahun lalu, kebosanannya benar-benar memuncak, dan dia memutuskan untuk melamar pekerjaan lain. Diterima. Tapi toh, tetap saja, sahabat saya itu memilih untuk tidak mengambil tawaran pekerjaan baru itu, dan kembali ke pekerjaan lamanya. Kembali ke rutinitasnya. Dan kembali ke kebosanannya.

Kenapa?

Katanya dia takut. Dia merasa sekarang sudah di kantor yang enak, terjamin, dan dia takut untuk mencoba lagi di tempat yang baru. Mungkin kalau menurut ilmu ekonomi yang masih saya ingat, opportunity cost untuk memulai di tempat yang baru terlalu besar.

COMFORT ZONE.

Siapa yang tidak ingin hidup nyaman? Saya punya beberapa teman, yang sepertinya waktu kuliah, benar-benar anti kemapanan (hahaha…you know who you are!). Tapi saya percaya, semua orang berubah. Karena waktu, tekanan pengaruh lingkungan, persoalan, pengalaman hidup. Banyak hal. Dan naluri ilmiah manusia pastilah suatu waktu akan mencari kenyamanan bin kemapanan itu.

Lalu? Kenapa saya sering pindah-pindah kerja?

Sejak kapan pindah kerja dihubungkan terbalik dengan kemapanan?

Saya merasa masih muda (hahahaah…). Kalau sekarang saya memuaskan ego saya untuk pindah-pindah kerja, yang rugi hanya saya. Itu juga saya nggak merasa rugi kok 🙂 Berdasarkan pengalaman saya yang belum seberapa ini, akselerasinya malah jadi jauh lebih cepat, daripada saya tetap di satu organisasi yang sama. Keuntungan lain: network. Networking saya jadi makin banyak dengan pindah-pindah kerja ini. Lagipula, saya tidak suka terlena dengan kenyamanan yang sudah saya terima selama ini. Akuilah, makin lama kita bekerja di satu tempat, makin kenal dekat dengan orang-orangnya, makin mengerti dan paham pekerjaannya, kita pasti akan merasa nyaman bukan? Apalagi gaji cukup, tunjangan menjanjikan, apalagi?

CHALLENGE.

Saya selalu merasa kurang tertantang dengan pekerjaan yang sudah saya tekuni cukup lama. Kalau tidak ada tantangan baru, otak jadi stagnan, dan kita seperti katak dalam tempurung yang tidak tau perkembangan dunia di luar sana. Ketika kita merasa nyaman, seringkali kita jadi terlena, merasa diri sudah maju padahal kita seperti lari di treadmill. Tidak kemana-mana…

Jangan salah.

Saya penganut paham hidup nyaman. Apa gunanya kita bekerja keras kalau salah satunya tidak digunakan untuk membuat hidup lebih nyaman, bukan? Hidup nyaman juga salah satu anugerah yang musti disyukuri, karena tidak semua orang bisa mendapatkan hal itu. Tapi jangan terlena. Kalau hidup ibarat sebuat perjalanan. Ketika kita ada di comfort zone, hidup serasa di jalan tol. Lurus, mulus, bisa ngebut tanpa buat perut murus 😉 Tapiiiii…jalan tol yang terlalu panjang juga membuat ngantuk. Membuat kita tidak waspada. Dan karena tidak siap, akibatnya malah lebih fatal. Seperti kejadian tabrakan beruntun di jalan tol.

Daripada saya nulis panjang lebar soal ini, lebih baik saya cerita.

Tentang dua ekor kodok. Yang pertama, dimasukkan ke dalam panci berisi air panas mendidih. Apa yang terjadi? Sang kodok panik, kaget, dan serentak loncat keluar dari panci. Lalu ada kodok yang kedua. Kodok dimasukkan ke dalam panci yang berisi air dingin, lalu perlahan-lahan panci dipanaskan sampai mendidih. Apa yang terjadi? Mulanya sang kodok menikmati air dingin tersebut. Ketika ia sadar kalau airnya sudah panas mendidih, semua sudah terlambat, ia sudah tidak punya cukup tenaga untuk keluar dari panci tersebut. Saya rasa semua mengerti inti dari cerita itu: Itulah yang akan terjadi jika terlena dalam kenyamanan, sementara kenyamanan tidak selamanya mau bersahabat dengan kita.

Ada satu tulisan bagus yang saya baca dari lifehack.org (this is a great site, full of inspiring articles, love it!), about this comfort zone thingy.

“Over time, we all gather a set of constricting habits around us-ones that trap us in a zone of supposed comfort, well below what our potential would allow us to attain. Pretty soon, such habits slip below the level of our consciousness, but they still determine what we think that we can and cannot do-and what we cannot even bring ourselves to try. As long as you let these habits rule you, you’ll be stuck in a rut.”

TAKUT?

Ada lagi tulisan yang saya suka.

Nobody’s born with an instruction manual for life. Despite all the helpful advice from parents, teachers and elders, each of us must make our own way in the world, doing the best we can and quite often getting things wrong. Messing up a few times isn’t that big a deal. But if you get scared and try to avoid all mistakes by sticking with just a few “tried and true” behaviors, you’ll miss out on most opportunities as well. Lots of people who suffer from boredom at work are doing it to themselves. They’re bored and frustrated because that’s what their choices have caused them to be. They’re stuck in ruts they’ve dug for themselves while trying to avoid making mistakes and taking risks. People who never make mistakes never make anything else either.

Enough the talking, I guess you got the point already:

When needed, get out your comfort zone, and enjoy the bumpy ride!!!

HAVE FUN !!! 🙂

PS:

Tulisan ini saya buat BUKAN karena saya sedang berpikir untuk mengundurkan diri dari organisasi yang seharusnya mempekerjakan saya, dan mencari pekerjaan lain (lagi hehhee), tapi karena alasan ketakutan meninggalkan comfort zone, makin sering saya dengar akhir-akhir ini.

Recommended Articles

3 Comments

  1. bahkan sekarang pun saya ragu apakah saya mau meninggalkan zona aman saya dan beralih ke zona berikutnya, yang, saya tidak bisa memprediksikannya! Padahal hanya saya sendiri yang bisa membuat zona tidak aman menjadi aman. tapi kenapa ya saya ragu untuk melangkah pergi?

    butuh tekad kuat untuk benar-benar bisa beranjak.. sigh.

  2. allo mbak 🙂 what I believe is, comfort zone is in your heart, it is made, and really depends on YOU only! So, yeah, saya setuju kalau hanya kita sendiri yang bisa buat zona yang gak nyaman pun jadi nyaman 🙂 btw, kalo misalnya ragu untuk meninggalkan zona aman, berarti kepikiran untuk meninggalkan, berarti: is it still your zona aman? 😉

  3. wah sangat menginspirasi 🙂
    nice post 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *