Photo from http://sustainablepulse.com/
Itu pertanyaan pertama yang banyak saya dengar dari orang-orang yang tau ‘perjuangan’ kami mendapatkan residence visa di sini.
Jawaban saya biasanya pendek. “Pengen settle”. Kecuali sama orang-orang terdekat, panjanglebar jawabnya.
Berhubung suatu saat saya ingin blog ini buat dibaca RaditRania, jadi saya jelaskan di sini saja. Buat mereka baca. Sebelum mereka protes, kenapa kita pindah terus…?
Beberapa kali diskusi dengan suami, kami memutuskan bahwa Oman bukan negara yang tepat untuk kami settle. Banyak alasannya. Dan semua personal, tentu.
Jangan salah. Kami bersyukur sekali bisa tinggal di Oman. Negara aman, tenteram, damai, penuh dengan orang-orang baik, dan indah yang pasti. Tapi lagi-lagi, kembali ke personal preference. Salah satunya karena kami di sana dengan family visa yang disponsori kantor tempat suami bekerja (suami sendiri dengan working visa), dan diperpanjang setiap 2 tahun. Walaupun banyak fasilitas disediakan oleh perusahaan (mulai dari sewa rumah, pendidikan anak, tiket pulang setahun sekali dll), tapi tetap ada limitasi bagi working visa. Kami nggak bisa beli asset, salah satunya. Dan sangat tergantung perusahaan. Alhamdulillah, selama ini suami diperpanjang terus working visanya. Juni 2014 kemarin sebenarnya juga baru diperpanjang 2 tahun lagi (seharusnya sampai 2016). Dan akhir tahun lalu juga baru dapat promosi kenaikan. Tapi kalau tergantung perusahaan, bagaimana kalau tiba-tiba diberhentikan? Dengan 2 anak yang memasuki usia sekolah, dan isu Omanisasi (mengurangi jumlah expat dan posisinya diganti dengan orang-orang Oman), kami butuh sesuatu yang lebih stabil.
Soal pekerjaan sendiri, menurut suami, sudah saatnya dia pindah untuk perkembangan karir dan kemampuannya. Sebagai istri, ya tentu saya mendukung. Pertimbangan lain adalah kondisi Sultan Oman sekarang, Sultan Qaboos, sebagai orang yang paling berjasa dan banyak membawa perubahan baik bagi pembangunan Oman. Beliau lahir tahun 1940, jadi saat ini sudah 74 tahun. Semoga Beliau sehat selalu, panjang umur, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Tapi kalau nanti Beliau mangkat, kondisi sosialpolitikekonomi Oman menurut kami kurang stabil untuk jangka panjang. Sangat tergantung sekali dengan siapa pengganti Beliau nanti dan apa kebijakan yang akan diambil, khususnya kebijakan untuk para pendatang.
Kami mulai mencari negara mana yang kira-kira bisa kami incar. Waktu hamil Rania, kami sempat keliling Eropa Barat. Suami suka Belanda dan Belgia. Berkali-kali dia nanya saya mau balik ke Eropa atau tidak. Saya dulu pernah sekolah di Den Haag, jadi sedikit banyak tau Belanda seperti apa. Dan saya kok nggak kebayang membesarkan anak di Belanda. Kalau Brussel, saya masih mau. Paris kebetulan kami berdua kurang sreg.
Waktu pulang ke Indonesia untuk melahirkan Rania, kami sudah packing semua barang. Rencananya, kalau memang suami dapat kerjaan baru, kami langsung pindah. Kalau nggak dapat, ya pindah apartemen hehe
Allah baik, sangat baik. suami dapat offer kerjaan di Brussel. Permanent job. Kesempatan langka buat orang non-EU, tanpa background pendidikan Eropa, untuk bisa dapat kerjaan di Eropa Barat, itu yang saya tau. Tawarannya not bad, at all. Cukup untuk kami, dan masih bisa nabung. Ditambah, RaditRania bisa dapat tambahan bahasa baru, Prancis. Tinggal sign kontrak. Beres. Kami pindah. Seharusnya…
Dan saya tiba-tiba terserang galau akut. Bagaimana bisa mengurus 2 anak, umur 3 tahun dan bayi baru lahir, tanpa asisten..? Bisa pasti, kalau mau usaha ya…Lama-lama juga terbiasa. Tapi kalau boleh memilih, saya lebih memilih punya asisten. Di Oman kami bisa bawa asisten. Untung suamiku yang baik hati itu mengerti. Tunggu Rania 2 tahun, baru kita pikirkan pindah lagi.
Pertimbangan negaranya berubah sekarang. Dengan 2 anak, kami mulai riset negara mana yang children friendly, best countries with high quality of life, best cities to raise a family, dll. Dan karena kalau bisa ini pindah yang terakhir sebelum kami kembali lagi ke Indonesia (aamiiinnn…), kami mencari negara yang bisa memberikan status Permanent Resident (PR), lewat jalur skill migrants. Daftarnya makin mengecil. UK, Canada, Australia, dan New Zealand. Btw, kalau lewat jalur investment, ada lebih banyak pilihan, bisa dilihat di sini sebagian.
Dari negara-negara itu, Canada kami coret. Karena terlalu jauh dari Indonesia. Maklum, masih suka kangen pengen pulang, kumpul sama semua, makan baksopempekmieayam, horeee! UK juga kami coret.
Tinggal Australia dan New Zealand. Dua negara ini walaupun banyak yang sering tertukar, tapi beda. Ukuran beda. Karakteristik penduduk beda. Kebijakan pemerintahnya juga beda. Salah satu perbedaannya, kebijakan soal nuklir. Kawasan laut, tanah, dan udara New Zealand adalah kawasan bebas nuklir, sampai saat ini.
Kedua negara ini bisa memberi PR untuk jalur skill migrants. Kebetulan, ada 2 om dari keluarga suami yang sudah puluhan tahun tinggal di Sydney. Jadi awalnya kami mulai mencari info migrasi ke Australia.
Sampai saya menemukan penelitian ini.
How Islamic are Islamic Countries?
Penelitian lama sebetulnya, dipublikasikan di Global Economy Journal, tahun 2010, oleh 2 researcher George Washington University, Scheherazade Rahman dan Hossain Askari.Pertanyaan dasarnya adalah seberapa jauh ajaran Islam dipahami dan mempengaruhi perilaku masyarakat Muslim dalam kehidupan bernegara dan sosial. Menurut mereka, masalah terbesarnya adalah, “Islam tends to be judged by what those labelled as Muslims do, and not by the actual message of Islam”.
Hasil penelitiannya, New Zealand adalah negara paling Islami di antara 208 negara lain. Indonesia sendiri? Di penelitian itu urutan ke 140. (Btw, itu penelitian tahun 2010. Kalau menurut saya pribadi, kalau sekarang diteliti lagi, mungkin Indonesia udah lebih ke bawah lagi. Apalagi setelah adu fitnah pilpres kemarin, duh!)
Photo: http://visual.ly/how-islamic-are-islamic-countries
New Zealand? Bukan negara Islam kok bisa nomor 1 ya?
Saya mulai browsing lagi soal negara ini. Selama ini kan taunya cuma negara ini indah bangeut, tentu berkat nonton Lord of The Rings. Hasil browsingnya kepanjangan kalau ditulis lagi di sini. Yang pasti, mungkin satu kalimat yang bisa summarize:
You don’t move to New Zealand to get rich.
You feel rich by living healthy and having a balanced life in a beautiful environment.
Quality of life, indeed!
Diskusi dengan suami lagi, jadilah kami bertekad bulat untuk pindah ke negara ini.
PS:
Waktu packing pindahan, saya kebaca lagi Our Dream Book ini. Udah lama bangeut gak ditengok hihi…Terakhir yang nulis di sini (September 2012). Ternyata kami dulu pernah nulis pindah ke NZ 🙂 (saya sih yang nulis di buku ini, suami seperti biasa ngetik di notepad laptopnya. Yeah, he’s so IT hehehe…)
Kalau ada yang perlu, ini selanjutnya saya tulis soal aplikasi residence di NZ ya. Bisa dibaca mulai dari sini.
Mbaa duh ak seneng bgt deh bc blog ini, suami ku br mau ngisi EoI nih hihi deg2an
Allo mba Frila, salam kenal ya 🙂 Good luck ya mba..kabar-kabarin progressnya ya mba, ditunggu di sini 🙂
Saya makin pengen move to Nz nih hehehe