Pengalaman berangkat haji dari Selandia Baru, part 1

Udah lama sebenernya pengen nulis ini. Sempat nulis selintas di IG story, senang dengan banyaknya tanggapan. Udah niat mau nulis di blog, karena banyak juga yang tanya detail, terutama soal biaya dan itinerarynya, tapi saya belum sempat-sempat nulis.

Dan sekarang baru teringat lagi. Ketika baca pengalaman teman-teman merayakan Idul Adha di berbagai belahan dunia. Dan ketika (seharusnya) jamaah haji tahun ini sudah saatnya berangkat. Walau ternyata nggak bisa, karena Covid 19 yang masih mewabah. Semoga keadaan terus membaik ya…

Tahun lalu, 2019, saya dan suami berkesempatan menunaikan ibadah haji.

Suami sebenarnya sudah ngajak dari waktu kami masih tinggal di Oman, 6-7 tahun lalu. Kan udah deket ya kalau mau berangkat haji. Tapi dulu saya belum mau. Duh, entah kenapa sepertinya berat sekali.

Belum siap, Rania masih ASI, belum dipanggil dan segudang alasan lain. Kalau saya pikir, mungkin saya terlalu sombong waktu itu. Terlalu sombong untuk menundukan hati dan mendengarNya, sampai Allah pun mungkin nggak berminat untuk ‘mengundang’ saya.

2 tahun kemudian, ketika Rania sudah disapih ASI, suami nanya lagi, mau haji nggak. Waktu itu bertepatan dengan disetujuinya permohonan residence visa Selandia Baru kami. Nanti, tunggu status resident kita permanen, kata saya. Jadi kalau ada apa-apa dengan kami ketika berhaji, insha Allah anak-anak sudah lebih terjamin masa depannya. Itu ya alasan juga. Karena lagi-lagi saya masih merasa belum siap.

Ketika akhirnya hati ini tergerak, tahun 2018, saya tanya sama suami, masih berlaku nggak ajakannya? Saya mau berangkat haji. Bukan untuk apa-apa. Saya hanya ingin mengucap syukur untuk semua yang sudah Allah beri. Karunianya yang tidak terhingga dan tidak terhitung, sampai hari ini.

Suami yang supportif dan sabar menghadapi semua kelakuan saya yang kadang ajaib, anak-anak yang sehat, diberi rejeki yang cukup, dipertemukan dengan orang-orang baik hati, dan banyaaakkk lagi. Tak ada habisnya kalau mau dihitung.

Suami saya setuju. Tapi kami punya tidak tabungan uang tunai yang cukup. Kami memang tidak terlalu suka menyimpan uang tunai. Dan suami paling tidak suka menjual asset (padahal asset dibeli untuk dijual kalau butuh, bukan? Gemes deh, tapi sudahlah, itu untuk bahan diskusi lain kali).

Ya sudah, kami nekad daftar bulan Desember 2018, walaupun belum ada uang untuk melunasi biayanya. Tanya teman yang berangkat tahun lalu, katanya pelunasan sebulan sebelum keberangkatan. Jadi ada waktu 6-7 bulan untuk kami nabung. Bisa, insha Allah. Kurangin makan di luar. Nggak jalan-jalan yang pakai nginep dulu. Siap! Demi berangkat haji.

Karena berangkat haji dari NZ, alhamdulillah kami tidak harus menunggu antrian untuk berangkat. Walaupun belakangan kami baru tau dari teman-teman, kalau tidak semua yang daftar bisa berangkat. Ternyata ada kendala quota dan lain-lain juga, karena yang berangkat tiap tahun makin banyak.

Waktu kami daftar, ternyata ada perubahan termin pembayaran mulai tahun ini. Termin pembayaran yang diminta oleh travel agennya jadi begini:

Deposit Payment: $1,000 per orang (dibayarkan 3 hari setelah invoice diterima). Invoice sendiri kami terima 26 Desember, beberapa hari setelah mendaftar.
Pembayaran kedua: 50% invoice, paling lambat 1 February 2019 (berarti satu bulan setelah DP).
Pembayaran ketiga: 100% invoice, paling lambat 1 April 2019 (berarti hanya ada waktu 2 bulan, Februari dan Maret, untuk nabung).

Duh, agak puyeng juga waktu terima invoicenya. Ini bayarnya gimana? Tanpa menjual asset apapun, berarti kami cuman punya waktu 3 bulan untuk menabung.

Orang bilang, banyak keajaiban ketika kita sudah mantap niat untuk berhaji. Rejeki datang dari jalan yang tidak disangka.

Demikian juga dengan kami. Masha Allah…

Allah tidak hanya memanggil umatNya, tapi juga memampukan umatNya untuk menjawab panggilan itu. Alhamdulillah ya Allah…

Kami berangkat dengan travel agent Australia waktu itu. Jadi gabungan antara jamaat haji Australia dan Selandia Baru. Tapi kami berangkat sendiri, tidak dengan rombongan. Kami ke Indonesia dulu untuk menitipkan anak-anak di rumah kakak saya. Waktu mengatur perjalanan dengan travel agentnya, kami sudah bilang kalau kami akan berangkat dari Indonesia. Ternyata biayanya sama saja dengan kalau kami berangkat dari Selandia Baru. Padahal logikanya, Indonesia kan lebih dekat ya. Dan kami harus keluar biaya tiket lagi untuk Wellington-Jakarta-Wellingtonnya.

Ternyata menurut travel agennya,

We have been verifying the airfare for you. Actually the airfare for Hajj from Jakarta is one of the most expensive in the world. It is equivalent to the airfare from New Zealand.

Untuk paket yang ditawarkan travel agent, sebenarnya ada 3 paket. Short stay, jadi cuman sebentar di Madinah, lanjut ke Makkah. Kami ambil yang ini karena nggak bisa cuti lama-lama. Ada lagi yang long stay, dengan pilihan lebih lama tinggal di Madinah atau Makkah. Biayanya untuk long stay dan short stay sama saja, jadi kalau ada keluangan waktu, lebih baik ambil yang long stay.

Untuk visa dan tiket semua diatur oleh agen perjalanan itu. Awalnya kami akan berangkat dengan Saudi Airlines dari Jakarta. Tapi ternyata Saudi Airlines menutup jalur penerbangan Jakarta-Madinah direct mulai 1 Agustus 2019, yang seharusnya kami gunakan untuk keberangkatan kami tgl 3 Agustus. Saudi Airlines menawarkan untuk menggantinya dengan tiket ke Jeddah, tapi jadwal penerbangan untuk Jeddah-Madinah tidak sesuai dengan jadwal haji kami.

Jadi agen perjalanan kami berinisiatif untuk mengganti tiket kami dengan Malaysia Airlines (Jakarta-Kuala Lumpur), lanjut dengan Emirates Airlines (dari Kuala Lumpur ke Madinah, via Dubai). Transitnya jadi 3 kali 🙂 Tapi untuk kenyamanan pesawat, saya terus terang lebih memilih Emirates airlines daripada Saudi Airlines. Sebenarnya penggantian pesawat ini mengakibatkan jadi ada tambahan biaya. Tapi agen perjalanan kami berbaik hati mengabaikan biaya tambahan tersebut, alhamdulillah…

Bersambung part 2: Perlengkapan yang harus dibawa

Artikel ini diikut sertakan minggu tema komunitas Indonesian Content Creator

Recommended Articles

9 Comments

  1. Saya belom pernah ke luar negeri. Semoga suatu saat nanti ke luar negerinya langsung naik haji juga, Aamiin😊

  2. Wah mbaa MasyaAllah Mudah-mudahan aku juga bisa dimampukan berangkat haji. Darimana pun ittu melihat situasi pandemi kayak gini rasanya insekyyuurr juga

  3. Masya Allah.. Alhamdulillah ya mbak Dedek udah pernah ke Baitullah. Doakan kami semua biar segera menyusul ya mbak, aamiin..

  4. subhanallah. selamat ya mba bisa pergi haji dengan segala kisah perjalanan yang maju mundur dan banyak kendala. memang benar ternyatam ibadah haji itu panggilan, kalo Allah sudah memanggil semua pasti dilancarkan walau terbentur banyak kendala.

  5. Masya Allah, mudah-mudahan habis baca postingan ini Allah berkehendak untuk mengizinkan aku dan sekeluarga untuk menunaikan ibadah haji, aamiin…

  6. Masya Allah, memang benar ya kak, haji itu soal terketuk karena diundang oleh Yang Maha Memiliki Baitullah. Mudah-mudahan sehabisa baca postingan ini, semakin didekatkan cita2 untuk menunaikan ibadah haji, aamiin

  7. Masya Allah, memang benar ya kak, haji itu soal terketuk karena diundang oleh Yang Maha Memiliki Baitullah. Mudah-mudahan sehabisa baca postingan ini, semakin didekatkan cita2 untuk menunaikan ibadah haji, aamiin

  8. Jadi ingat cerita temanku, yang berangkat haji berdua suami dari Australia. Kebetulan pas tugas belajar S3 di sana, jadi memenuhi syarat tinggal minimal (kalau tidak salah ada syarat ini ya), jadi bisa jauh lebih cepat dari antrean di Indonesia. Beliau pun jadi semangat sekali ngomporin yang lain untuk mengikuti jejaknya.

  9. Seru banget pasti nih. Kurang panjang ceritanya mba. Salah satu impian aku juga bisa ke NZ. Apalagi berhaji. Bismillah 🥰

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *