Ketika saya (mencoba) berpikir kritis tentang transportasi publik

Walaupun sudah lebih dari 10 tahun tidak tinggal di Indonesia, ada beberapa hal yang tetap buat saya kangen.
3F kalau gampangnya, Family, Food and Friends.
Tapi ada juga yang nggak bikin kangen. Macet dan polusinya.

Saya takjub sendiri kalau membayangkan ketahanan saya dulu ketika masih tinggal di Jakarta dan setiap hari pulang pergi kerja dengan kendaraan pribadi. 2-3 jam habis di jalan setiap hari untuk perjalanan dari rumah – kantor – rumah. Belasan tahun lalu, transportasi publik belum seperti sekarang. Jangankan MRT, busway aja baru mulai ada setelah beberapa tahun saya bekerja.

Kalau dipikir-pikir sekarang, betapa banyak hal yang bisa saya lakukan dalam 2-3 jam itu, setiap hari, daripada hanya duduk di dalam kendaraan.
Kalau berhitung kasar, 2 jam setiap hari, berarti sekitar 10 jam lebih per minggu (asumsi 5 hari kerja per minggu). Dan 500 jam lebih per tahun.
Itu minimal. Karena saya ingat, tak jarang perjalanan dari rumah saya yang di Depok sampai ke kantor saya yang di Kuningan bisa sampai 3 jam!

Sekarang sudah jauh lebih enak menurut saya.

Pilihan transportasi publik lebih banyak. Dari ojek, busway, MRT. Saya belum sempat merasakan MRT, Radit dan Rania malah sudah.
Walaupun tanpa MRT, dengan busway, KRL dan gojek, saya yang kalau mudik nggak pernah bisa diam di rumah ini, sudah cukup puas. Bisa sehari ketemu beberapa teman di tempat yang berbeda, dari Bogor, Depok, sampai Jakarta Pusat. Caranya? KRL, sambung gojek. Busway bila perlu. Kalau dengan naik mobil sudah pasti nggak keburu, waktu habis di jalan.

Meski sedang tidak tinggal di Indonesia saat ini, saya jujur berharap banyak dari transportasi publik di Indonesia. Saya sempat tinggal di beberapa negara, dengan kondisi transportasi publik yang berbeda-beda, dan saya jadi menyadari enaknya punya fasilitas transportasi publik yang mumpuni.

Ketika tinggal di Belanda, transportasi andalan adalah sepeda. Tapi karena waktu itu sambil kuliah saya juga bekerja membersihkan rumah beberapa orang yang letaknya di luar kota Den Haag, saya jadi mengandalkan naik bis dan tram.

Pernah soalnya nekad berangkat kerja naik sepeda, 1 jam lebih, dan sampai sana saya kecapekan. Jadi begitu sampai, bukannya langsung mulai bekerja, saya malah ngaso dulu. Jadi lebih aman kalau naik kendaraan umum saja. Enaknya transportasi publik di Belanda bersih dan sangat tepat waktu. Telat 1 menit saja ada pengumuman di papan kalau transportasi yang sedang kita tunggu akan terlambat.

Ketika pindah ke Oman dan belum punya SIM, saya mati gaya. Transportasi publik jauh dari memadai. Menurut saya malah di Indonesia lebih baik. Kalau mau naik taxi juga harus hati-hati, lebih baik pilih sopir taxi yang kita sudah kenal dan bisa ditelpon ketika kita sedang perlu. Tapi itu juga tergantung kelowongan waktunya apakah sesuai dengan waktu ketika kita perlu. Jadi susah kalau kita perlu taxi mendadak.

Mungkin karena kebanyakan orang di sana lebih memilih naik kendaraan pribadi. Harga mobil terjangkau, bensin juga lebih murah daripada air botol kemasan. Saya yang biasa pergi kemana-mana sendirian, awalnya agak frustasi dengan kondisi begini. Kemana-mana harus menunggu suami bisa mengantar atau nebeng teman yang sudah punya SIM. Saya baru agak lega ketika akhirnya bisa mendapat SIM Oman.

Di Selandia Baru sendiri, di tempat sekarang kami tinggal, transportasi publik menurut saya sangat bagus. Kami tinggal di suatu suburb di Wellington, sekitar 15 km dari pusat kota. Tapi halte bis tinggal nyebrang dari rumah. Suami sempat kerja sedikit di luar kota Wellington, dan setiap hari dia naik kereta pulang pergi.

Menurut saya, banyak keuntungan yang bisa kita dapat dari menggunakan transportasi publik. Selain lebih hemat (parkir mobil di Wellington kalau saya bawa mobil ke kantor sekitar $22 per hari. Belum bensinnya. Sedangkan kalau naik bis hanya sekitar $7.6 pulang pergi). Selain itu kita juga mengurangi polusi. Coba hitung berapa jejak karbon kita yang berkurang dengan naik kendaraan umum?

Sayangnya sejak pandemi ini, saya terpaksa kembali bawa mobil ke kantor karena belum PD kalau harus naik transportasi umum. Bukan apa-apa, saya tidak yakin dengan diri saya sendiri bisa mematuhi protokol kesehatan yang sudah ditentukan. Saya agak sungkan pakai masker (jangan ditiru ya), sedangkan kalau naik kendaraan umum di NZ harus memakai masker. Kalau naik mobil pribadi, saya bebas. Untungnya saya jadi tidak harus ke kantor setiap hari, hanya 2 kali seminggu, jadi semoga jejak karbon saya tidak terlalu banyak 🙂

Konon katanya, semua keputusan yang kita ambil mempengaruhi kualitas hidup kita. Tapi kalau kita mau berpikir kritis, mungkin tidak hanya hidup kita, tapi juga hidup orang lain. Seperti contohnya ketika kita memutuskan untuk menggunakan transportasi umum daripada kendaraan pribadi.

Pilihan semua kembali ke kita masing-masing. Tapi kalau kamu lebih memilih naik kendaraan umum atau mobil pribadi?


Artikel ini diikutsertakan minggu tema komunitas Indonesian Content Creator.

8 Comments

  1. saya sendiri memilih kendaraa umum untuk kegiatan yang memang masih di dalam kota, dan bukan acara belanja rutin bulanan hehe.
    Untuk yang jauh, sebenarnya lebih memilih memakai kendaraan pribadi.
    Tapi sampai sekarang saya belum bikin SIM karena ngeri nyetir di highway Jerman. Jadinya ya cukup sedih juga kalau apa apa harus nungguin suami atau kalau ngga pakai kendaraan umum deh.

  2. sama enaknya nih kalo di Sumatera mbak, transportasi umumnya juga banyak, antar lintar provinsi, jadi gampang mampir-mampir, walaupun nggak lama. Seru sih.. Cuma nggak enaknya kadang bikin macet. Belom lagi abang sopirnya yang suka ugal-ugalan, duh..
    Di Oman harga bensin lebih murah dari air mineral?! Shock akutuh, jadi pengen tinggal disana, haha..
    Duh, tiati loh mbak Dek, soalnya kalo di Indo, dalem mobil aja harus pake masker, kalo enggak denda 100ribu, sungguh memeras, haha..
    Seru ya, baca ini aja aku serasa keliling dunia loh mbak, hihi..

  3. Hahahha, emg kemacetan indonesia tiada duanya ya mba…
    Keputusan yg kita ambil itu bsa berpengaruh ke banyak hal jga, makanya harus bijak dan ga boleh egois ya mba

  4. Aku belum bisa bawa kendaraan sendiri, jadi seringnya ya pakai transportasi umum atau minta diantar suami… Atau taksi online kalau perginya sekeluarga, karena belum punya mobil juga. Kebantu sih ya karena pilihan cukup banyak di sini, pernah ngerasain juga di kota yang transportasi umumnya sangat terbatas dan waktu itu belum ada ojol.

  5. hahha kalau untuk belanja rutin bulanan tetep perlu pake mobil ya mba, kalau nggak pegel 🙂

  6. wah ini kita belum kesampean mba, road trip Sumatera. Nunggu tolnya jadi sampe Aceh 😀

  7. iyaaa puyeng kalau diturutin, mending naik gojek 😀

  8. Ojol emang banyak membantu ya mba 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *