KDRT aka Kekerasan Dalam Rumah Tangga, isu yang makin lama makin banyak beritanya kita baca dan dengar. Satu hal yang patut disyukuri, sekarang korban KDRT sudah mulai banyak yang makin berani bersuara. Suatu keberanian yang patut diacungi jempol, karena pasti tidak mudah untuk dilakukan.
Walaupun demikian, masih banyak juga korban KDRT yang memilih untuk menyembunyikan kisahnya. Stigma masyarakat tentang istri yang baik adalah istri yang menurut kepada suami, rasa malu kalau KDRT yang dianggap aib keluarga sampai tersebar, pasrah dan nrimo dengan segala keadaan tak jarang menjadi alasan para korban KDRT, khususnya perempuan, untuk berdiam diri.
Berita paling terkini yang saya baca adalah kasus seorang Bapak yang membunuh ke-empat orang anaknya, setelah sebelumnya menyakiti istrinya hingga masuk ke rumah sakit. Astaghfirullah, setan pun mungkin bingung dengan kelakuan manusia satu ini yang lebih biadab dari binatang. Ketika membaca berita itu, saya sempat menyayangkan, kenapa keluarga sang istri tidak sekaligus menyelamatkan anak-anaknya ketika membawa sang istri ke rumah sakit untuk dirawat akibat tindakan suaminya?
Tidak bisa dipungkiri, walaupun berita tentang KDRT sudah banyak dimana-mana, akan tetapi isu KDRT adalah isu yang serius dan kompleks yang sering kali disertai oleh berbagai mitos yang dipercaya masyarakat dan mengaburkan pemahaman kita.
Padahal pemahaman yang benar tentang KDRT bisa membantu kita menganalisa, mengerti, juga membantu ketika ada kasus KDRT yang terjadi di lingkungan sekitar.
Mitos 1:
KDRT Hanya Melibatkan Kekerasan Fisik
Faktanya, KDRT mencakup berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan fisik, psikologis, seksual, dan ekonomi. Kekerasan fisik memang lebih gampang terlihat bentuk dan dampaknya, tapi KDRT di hal-hal lain juga sangat merusak dan berbahaya.
Mitos 2:
KDRT Terjadi Hanya pada Keluarga dengan Tingkat Pendapatan Rendah
Kalau belajar dari banyaknya kasus yang terjadi, KDRT tidak memandang status sosial atau tingkat pendapatan. KDRT dapat terjadi di semua lapisan masyarakat, termasuk keluarga dengan tingkat pendapatan yang tinggi. Masih ingat kan berita tentang seorang istri yang kemudian menuntut suami dan bapak anak-anaknya yang kerap memukul? Suaminya menduduki jabatan mentereng di pekerjaannya. Keluarga mereka juga terlihat berkecukupan secara ekonomi.
Saya sendiri punya teman yang pernah menjadi korban KDRT. Secara materi mereka berlebih. Tapi secara mental, dia menderita karena kerap dijadikan sasaran tinju bak sparring partner sang suami.
Mitos 3:
Orang yang Melakukan KDRT Tidak Berpendidikan Tinggi.
Sama seperti KDRT tidak mengenal status social, KDRT juga dapat terjadi dari berbagai latar belakang pendidikan. Pendidikan tinggi tidak dapat dijadikan jaminan bahwa seseorang tidak akan terlibat dalam tindakan kekerasan.
Mitos 4:
Orang yang Mengalami KDRT Bisa dengan Mudah Meninggalkan Hubungan Itu.
Faktanya, meninggalkan hubungan dengan KDRT merupakan proses yang rumit dan berbahaya. Seperti dililit oleh tali berulang-ulang, yang makin coba dilepas, makin terjerat. Ada banyak faktor yang menyebabkan sulitnya lepas dari jeratan itu, seperti ketergantungan keuangan, ancaman dan manipulasi.
Mitos 5:
KDRT Hanya Menimpa Perempuan.
Nyatanya, meskipun perempuan lebih sering menjadi korban, pria juga bisa mengalami KDRT. Setiap individu dapat menjadi korban tanpa memandang jenis kelamin. Masih ingat kan kasus yang ramai di berita tentang Johnny Depp dan mantan istrinya, Amber Heard?
Mitos 6:
KDRT Hanya Terjadi Sesekali dan Bisa Diatasi dengan Permintaan Maaf.
Padahal KDRT sering kali merupakan pola perilaku yang berulang, dan permintaan maaf tanpa tindakan nyata untuk berubah adalah bagian dari siklus kekerasan tersebut. Untuk keluar dari jeratan KDRT, pelaku harus bertekad kuat dan mencari bantuan professional untuk mencari jalan keluarnya.
Mitos 7:
KDRT Terjadi Hanya pada Pasangan yang Terlihat Tidak Bahagia.
Kita kerap kali terkecoh dengan hubungan yang tampak bahagia dari luar. Tidak semua pasangan yang terlibat dalam KDRT memiliki masalah pernikahan yang terlihat secara terang-terangan. Banyak kasus dimana para korban KDRT menyembunyikan apa yang dialaminya dengan berpura-pura bahagia dan berada dalam hubungan rumah tangga yang menjadi Impian banyak orang.
Mitos 8:
Beberapa budaya tertentu lebih rentan melakukan kekerasan termasuk KDRT.
KDRT tidak mengenal batasan budaya, agama, atau etnis. KDRT adalah masalah universal yang dapat terjadi pada siapa saja, di berbagai lingkungan dan kelompok masyarakat manapun.
Mitos 9:
KDRT adalah ranah pribadi keluarga yang sebaiknya tidak dicampuri.
KDRT adalah isu social yang memerlukan intervensi dari masyarakat sekitar. Korban memerlukan bantuan dan dukungan untuk bisa keluar dari jeratan KDRT. Membiarkan korban dan pelaku KDRT akan membahayakan jiwa.
Mitos 10:
Alkohol dan ketergantungan obat terlarang merupakan penyebab KDRT.
Walaupun tak jarang pencandu narkoba dan alkohol menjadi pelaku KDRT, tapi bukan berarti orang yang jauh dari alkohol dan narkoba tidak bisa menjadi pelaku KDRT. Penyebab awal KDRT seringkali terjadi karena keinginan untuk menguasai dan mengontrol korban.
Mitos 11:
KDRT terjadi karena korban memprovokasi pelaku.
Tidak ada seorang pun manusia yang pantas menjadi korban KDRT, apapun alasannya. Menyalahkan korban seringkali dijadikan alasan ketika seharusnya kesalahan sepenuhnya harus ditanggung oleh pelaku.
Pemahaman yang akurat tentang KDRT sangat penting untuk memberikan dukungan yang efektif kepada para korban dan mencegah terjadinya KDRT. Jika mencurigai ada kasus KDRT yang terjadi di lingkungan sekitar kita, hubungi organisasi atau orang yang lebih paham tentang KDRT dan bisa membantu. Semoga dengan mengetahui mitos-mitos seputar KDRT, kita dapat membantu membentuk masyarakat yang lebih sadar, peduli, dan siap bertindak melawan kekerasan dalam rumah tangga.