Merayakan Kegagalan

Minggu lalu saya sempat liat info soal Whine and Dine session yang diadakan sama Mas Okki dan mba Gita Sjahrir. Whine lho ya, bukan Wine salah spelling. Topiknya cocok buat whining bareng-bareng, Merayakan Kegagalan. Uhuy bangeut kan…!

Kalau kesuksesan pasti kita semua rayakan dengan senang hati. Tapi kalau kegagalan?

Sayangnya eventnya offline di Jakarta, nggak ada onlinenya, dan saya nggak bisa ikutan huhu…
Tapi event itu bikin saya mikir. Apa aja ya kegagalan yang pernah saya alami? Apakah sudah saya rayakan?

Selama 44 tahun hidup, kumpulan gagalnya udah berjilid-jilid, dan ada beberapa yang saya masih inget bangeut. Membekas sampai sekarang.

Pertama, waktu saya SMP. Ini sebenarnya bukan kegagalan saya yang pertama. Cuman yang sebelumnya saya sudah lupa. Saya dan teman saya (lelaki) dikirim untuk ikut lomba siswa teladan mewakili sekolah. Dulu SMP saya memang sekolah unggulan di Bandar Lampung dan saya cukup sering dikirim mewakili sekolah untuk berbagai lomba mata pelajaran. Saya lupa juga pastinya. Yang saya ingat, kami persiapan untuk lomba dengan SMP-SMP lain, menentukan siapa pelajar perempuan dan lelaki yang akan mewakili Propinsi Lampung ke tingkat nasional.

Sampai kemudian suatu hari saya diberi tahu kalau perwakilan pelajar perempuan sudah terpilih. Tanpa perlombaan apapun sebelumnya. Konon, yang dikirim itu anak salah satu pejabat Dinas Pendidikan di Lampung. Saya sedih bukan karena tidak dikirim sebagai perwakilan Lampung buat siswa teladan. Tapi lebih karena merasa diperlakukan tidak adil. Dan gagal karena diperlakukan tidak adil, tanpa diberi kesempatan membuktikan kemampuan diri itu sakit ya…uhuk!

Tapi terus alhamdulillah diganti Allah sama yang lebih baik. Saya dapat beasiswa full, gratis termasuk asrama, buku, seragam sekolah di SMA boarding school di Sentul, Bogor yang waktu itu biaya masuknya mahalnya ampun, ekskulnya aja berkuda. Cihuy! Sampe sekarang sih itu sekolah tetep mahal 🙂

Kegagalan kedua, gagal masuk FSRD ITB idaman. Padahal udah bela-belain anak rantau ini ngekost di Bandung demi bimbingan Villa Merah hahah Teknik Arsitektur ITB dan Unpar juga nggak masuk.

Diganti sama Allah masuk Fakultas Ekonomi di universitas negeri di Depok, yang konon adalah fakultas ekonomi terbaik di Indonesia Raya, yang lulusannya paling sial jadi Menteri (ini jangan dianggap serius ya, becandaan kita aja, ada lagu sombong fakultas hhaha…). Dan nggak nyangka, ternyata saya suka di sana. Saya ternyata lebih suka angka dan jiwa seni saya nggak segitunya juga 😀 Jadi batal ikut ujian masuk PTN buat arsitektur tahun depannya.

Kegagalan ketiga, pas daftar buat beasiswa S2 ke Belanda. Pengumuman pertama, saya nggak diterima. Yo wislah, saya juga udah pasrah. Karena ibu saya sakit keras waktu itu. Saya juga ngurus pendaftaran beasiswa udah setengah hati. Kemudian Ibu saya meninggal. Setelah nujuh hari almarhumah, saya kembali ke kantor (Ibu saya dimakamkan di Lampung). Dan saya dapat telpon dari pihak pemberi beasiswa Belanda. Katanya mereka mau interview saya lagi. Interview lewat telpon saat itu juga, dan besoknya langsung dapat kabar, saya dapet beasiswanya! Full scholarship, termasuk tiket pesawat return, asuransi dll. Alhamdulillah ya Allah…

Pengumuman saya dapet beasiswa itu kayak hiburan juga buat Bapak saya setelah Ibu saya meninggal dan memang beliau yang selama ini mendukung saya untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri.

Sebenarnya kegagalan saya bukan cuman itu. Ada banyak lagi yang lain.
Pacaran putus di tengah jalan.
Bisnis yang juga harus terhenti karena banyak hal padahal belum BEP (yang udah untung tapi terus tutup ada juga).
Investasi yang salah perhitungan.
Dan banyak bangeut hal lain.

Tapi dari semua kegagalan, ada 3 hal yang saya belajar:

  1. Semua kegagalan itu yang bikin saya sekarang ini. Jauh dari sempurna, tapi ternyata nggak parah juga hahah
    Kalau nggak pernah gagal waktu pacaran, mungkin saya nggak akan pernah bisa menghargai kelebihan-kelebihan suami saya. Nggak akan bersyukur kalau dia yang dipilihkan Allah untuk saya. Kalau saya nggak pernah salah dalam perhitungan investasi, mungkin saya nggak akan belajar dan insting saya nggak akan terasah membedakan mana investasi yang bodong vs menjanjikan.
    Ibaratnya seperti main video game. Kita mungkin harus habis nyawa dulu berkali-kali, sebelum kita ahli di level itu. Naik level, habis nyawa lagi, belajar lagi, naik level lagi. Gitu terus. Seperti video games juga, setiap kali kita hidup lagi, kita udah lebih ahli dan lebih ngerti selanya dimana. Kegagalan itu guru yang terbaik.
  2. Kalau emang rejeki kita, nggak akan kemana. Rejeki udah ditakar, nggak akan ketukar. Begitu juga sebaliknya. Kalau bukan rejeki kita, mau segimana jungkir baliknya kita usaha, ya emang nggak rejeki aja gitu. Allah knows best. Tapi tugas kita tetep harus usaha, ikhtiar ya, bukan cuman pasrah.
  3. Kalau setelah usaha, gagal, dan kita ikhlas, ambil pelajaran dari kegagalan itu, insha Allah akan diganti yang lebih baik. Yang emang rejeki kita. Yang emang milik kita.

Celebrate the journey, not the destination.
Saya nggak ingat semua kegagalan yang saya alami. Mungkin karena saya nggak merayakan kegagalan itu ya. Malah lebih memilih melupakan. Padahal banyak hal yang harusnya bisa saya rayakan setiap kali saya gagal. Merayakan kalau saya pernah berani untuk mencoba. Merayakan semua pelajaran yang saya dapat dari kegagalan itu. Juga merayakan ‘kuat’nya saya masih bisa bertahan. Thank you me….Alhamdulillah…

Mulai hari ini, saya mau rayakan kegagalan saya juga, bukan cuman kesuksesan.
Cheers to failure – the unsung hero of success!
Thanks mas Okki, mba Gita for the idea. Semoga lain kali dibuat lagi ya 😊

PS: Jangan lupa subscribe email kamu ya, supaya nggak ketinggalan kalau ada tulisan baru 🙂

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *