Perkenalan saya dengan hutan pertama kali dimulai ketika saya magang di Conservation International, sebuah LSM internasional yang bekerja di bidang konservasi lingkungan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Saya jatuh cinta dengan dunianya. Jadi setelah selesai magang, dan ditawari pekerjaan di situ, saya dengan senang hati mengiyakan, walaupun saya belum selesai kuliah. Waktu itu saya ikut dalam tim proyek INFORM (Indonesia Forest and Media). Proyeknya tentang promosi konservasi hutan dan peningkatan tata kelola hutan sebagai upaya menghentikan deforestasi. Salah satu aktivitasnya adalah memfasilitasi rekan-rekan media untuk mengangkat isu hutan dan menulis lebih banyak lagi tentang hutan, agar pemerintah tergerak untuk melakukan langkah nyata menyelamatkan hutan Indonesia. Waktu itu, 17 tahun lalu, blog dan vlog belum semarak sekarang. Jadi media lebih banyak dikuasai koran, majalah, radio dan televisi.

Dari situ saya kenal hutan lebih dalam. Saya sempat terbengong-bengong dan takjub ketika suatu waktu saya hiking di hutan bersama teman-teman kantor. Dari jauh terlihat monyet-monyet bergelantungan di pohon. Teman-teman saya yang kebanyakan ahli biologi dan primata sibuk menunjuk-nunjuk, itu Hylobates moloch (sampai sekarang saya masih teringat nama latin untuk Owa Jawa ini, karena bingung, bagaimana bisa mengenali species hewan dari jarak sejauh itu). Buat saya, monyet ya monyet saja 😀 Mungkin kalau membedakan ramen dan mie ayam dari jarak jauh saya bisa, tapi kalau membedakan species monyet, wallahualam.

Hutan untuk kesehatan fisik dan mental
Dari situ saya belajar banyak. Ternyata hutan tidak hanya pepohonan saja. Ternyata hutan punya banyak keanekaragaman hayati yang lain. Dan sejak itu saya suka ke hutan. Sampai sekarang.

Jalan ke hutan juga bisa jadi alternatif piknik keluarga

Kita sendiri tentu sedikit banyak tahu betapa bermanfaatnya alam dan pengaruhnya terhadap kesehatan dan kesejahteraan kita. Heningnya hutan, aroma pepohonan, sinar matahari yang menembus dedaunan, udara segar, semua itu menimbulkan perasaan nyaman bagi diri kita. Berada di alam dapat membantu meningkatkan mood, dan membuat kita lebih berenergi dan lebih bertenaga.

Setiap kali jalan atau trekking di hutan, saya selalu merasa lebih segar dan seperti merasa di recharge. Baru-baru ini saya dengar, ternyata ada istilahnya untuk ini.

Forest bathing, atau shinrin-yoku, atau menyerap atmosfer hutan, sebenarnya sudah muncul di Jepang sejak tahun 1980an. Gerakan ini awalnya muncul sebagai penawar burnout yang kerap dialami masyarakat perkotaan dan untuk mengajak masyarakat kembali ke alam dan turut menjaga kelestarian hutan.

Beberapa ilmuwan Jepang banyak yang kemudian melakukan penelitian tentang shinrin-yoku ini. Termasuk salah satunya Yoshifumi Miyazaki, dari Center for Environment, Health and Field Services, Chiba University di Jepang. Miyazaki meneliti tentang hubungan seseorang dengan alam dan pengaruhnya terhadap kesehatan dan well-being seseorang. Penelitiannya sendiri walaupun lebih menitikberatkan pada pengaruh hutan, tetapi juga membahas pengaruh taman kota, kebun, bahkan tanaman dalam ruang.

Hasil penelitian itu kemudian diterbitkan dalam sebuah buku, “Shinrin yoku: The Japanese Art of Forest Bathing” (Timber Press, 2018). Dalam buku ini, Miyazaki menjelaskan beberapa teknik yang bisa digunakan untuk melakukan forest bathing, dan penjelasan sains bagaimana aktivitas tersebut bermanfaat untuk mengurangi stres dan menyembuhkan penyakit-penyakit yang berkaitan dengan stres, juga dapat meningkatkan kadar imunitas tubuh.

Buku karangan Miyazaki tentang terapi Forest Bathing

Menurut data dari badan dunia PBB pada tahun 2030, diperkirakan 27% penduduk dunia akan tinggal di daerah perkotaan, dengan setidaknya 1 juta penduduk per kota. Di Jakarta sendiri diperkirakan akan ada 13 juta lebih penduduk pada tahun 2030. Suatu keadaan dimana kita akan semakin jauh terhubung dengan alam.

Tapi tidak perlu takut. Berita baiknya, bahkan menghabiskan sedikit waktu saja di alam akan tetap sangat bermanfaat bagi kesehatan kita. Ada banyak penelitian yang telah membuktikan hal tersebut.

Hutan itu kita
Beruntunglah bagi yang tinggal di Indonesia, negara dengan hutan hujan tropis ketiga terbesar di dunia. Tidak perlu bepergian jauh untuk bisa menikmati alam dan pepohonan. Kami sekeluarga dulu pernah tinggal di Muscat, Oman, satu kota di Timur Tengah. Pepohonan jarang, walaupun ada. Ketika musim panas, suhu udara bisa mencapai 50 derajat lebih. Kita tidak mau kan suatu saat suhu udara Indonesia jadi seperti itu. Jadi syukuri dan jaga sebaik-baiknya karunia Tuhan untuk Indonesia.

Anak-anak juga bisa diperkenalkan dengan aneka tumbuhan dan satwa yang ada di hutan

Tidak perlu jadi anggota kelompok pencinta alam. Tidak perlu juga jadi ahli kehutanan untuk turut serta menjaga hutan. Sekarang makin banyak saya lihat inisiatif keren bermunculan di Indonesia. Termasuk juga program menjaga hutan dengan adopsi hutan yang bisa kita lakukan dari mana saja kita berada. Belum lagi inisiatif kunjungan ke hutan dengan hanya meninggalkan jejak kaki (bukan sampah, tentunya). Dengan dicanangkannya Hari Hutan Indonesia setiap tanggal 7 Agustus, semoga semakin banyak yang sadar dan ikut serta menjaga hutan. Karena kita perlu hutan.

Jadi tunggu apa lagi?
Yuk kunjungi hutan. Rasakan keajaibannya. Sambil tetap kita jaga hutan Indonesia.

Recommended Articles

2 Comments

  1. Duh, kok serem ya mbak suhunya bisa sampe 50 derajat gitu. Di Indonesia aja suhu 30an derajat udah kipas-kipas, haha..

    Semoga hutan kita selalu terjaga, karena hutan telah menjaga napas dunia 😀

  2. iya euy. Aku pernah ketinggalan telor di dalem mobil, lupa ngeluarin. Terus tau2 pas inget, udah setengah mateng itu telor 😀

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *