Setahun di Welli: It ain’t all sunshine and rainbows

Postingan berseri saya soal aplikasi residence visa New Zealand lumayan banyak dapat tanggapan dan pertanyaan. Terimakasih yang sudah email atau comment ya.

Hari ini pas setahun kami pindah ke Wellington. Alhamdulillah, nggak nyangka juga bisa settle secepat ini. Walaupun belum 100% settle, dan hidup di sini nggak selalu enak (kalo kata Rocky, the world ain’t all sunshine and rainbows), tapi sejauh ini alhamdulillah…

Buat yang mau pindah ke Wellington, mungkin pengalaman kami setahun ini bisa jadi masukan dan pertimbangan.

1. Biaya hidup di sini mahal.

Saya pernah posting waktu baru sebulan tinggal di sini, bilang kalau belanja grocery di sini lebih dari murah dari di Oman. Pakai kata sepertinya sih, karena belum yakin juga waktu itu. Wong baru sebulan. Dan ternyata, SALAH! Itu waktu baru dateng, belanja cuma roti, susu, maksimal telur. Makan masih di luar terus. Dan makan di luar totalnya kurang lebih sama dengan biaya makan di luar waktu di Muscat. Dengan gaji tenaga kerja yang lebih mahal di sini, saya otomatis asumsi kalau harga grocerynya lebih murah. Ternyata nggak hiks…

Setelah mulai masak sendiri, mulai belanja grocery, baru berasa. Sebenernya ya walaupun belum liat harga kalau mau mikir logika juga udah ketebak. Karena penduduknya sedikit, nggak ada economies of scale, juga lokasinya yang di ujung dunia bikin biaya transportasi untuk barang import mahal.

Listrik, parkir, bensin, sewa rumah, juga nggak murah. Parkir sekitar NZD 1.5 – 4 per jam, tergantung lokasi. Ada juga yang gratis, tapi ada batas waktu. Bensin sekitar NZD 2 per liter. Sewa rumah bervariasi, tergantung lokasi, besarnya rumah dan fasilitas yang ada. Wellington (dan Auckland) termasuk dalam 20 kota termahal di dunia untuk hidup. Coba aja googling, ada banyak sumbernya, termasuk salah satunya di sini.

2. Nggak mudah cari kerja.

Nggak mudah bukan berarti nggak mungkin ya. Suami saya bisa dapet kerjaan yang sesuai dengan bidang dia. Tapi suami saya IT (network engineer) yang kebetulan masuk daftar shortage skills di New Zealand. Untuk bidang-bidang lain, terutama kita yang latar belakangnya social science, musti lebih fleksibel.

Ini cerita saya. Setelah 3 tahun lebih break kerja, saya ingin mulai kerja lagi. Anak-anak udah mulai senang dengan sekolah barunya. Walaupun yang kecil (3 tahun) hanya sekolah 2 kali seminggu, tapi lumayan, saya jadi ada waktu. Iseng saya apply kerjaan yang bisa part-time dikerjakan dari rumah. Kerjaannya organizing events olahraga (atletik dan sebagainya). Tidak diterima. Yo wis lah, nothing to lose to try, right?

Iseng cari lagi, dan ketemu kerjaan yang saya bangeut (hayaahhh..). Health policy researcher, gabungan dari 2 kerjaan saya dulu waktu kerja di World Bank dan GTZ/GIZ. Full time, tapi bisa part time katanya. Semangatlah saya apply. Boro-boro diterima, dipanggil interview aja nggak! OKlah, saya masih bisa tenang. Kalau policy kan musti aware juga kondisi negaranya, sedang saya baru dateng juga.

Lalu saya coba apply lagi. Admin assistant. Di salah satu kementerian. Dengan harapan bisa jadi batu loncatan saya, at least sekarang kerja dulu. Gak papa deh mulai dari bawah. Hasilnya sama, no response! 🙂

Mulailah saya galau. CV saya kurang menjual? S2 saya nggak berguna? Pengalaman kerja saya yang di lembaga-lembaga internasional itu nggak ngaruh? Mulai suudzon. Apa karena ada 3 tahun career break itu ya? Gileee…harga diri rasanya langsung tercabik-cabik. Di Indonesia dulu jarang bangeut ngelamar kerjaan. Walaupun kutu loncat, tapi selalu ada aja tawaran kerjaan sambung menyambung. Maaf, bukan sombong ya…Saya cuman mau ngejelasin, CV saya nggak dodol-dodol amat 😀

Browsing, lanjut tanya-tanya ke beberapa teman yang kuliah di sini (dan sekarang sudah kerja di sini juga). Jawabannya sama: employer sini butuh orang yang punya local/NZ experience. Mereka nggak butuh international experience (semua kantor saya dulu organisasi/badan internasional, btw. Dan nggak ngaruh hehe…).

Disarankan supaya saya internship/volunteer dulu beberapa bulan (teman ada yang 6-9 bulan volunteer, baru kemudian dapat kerja). Cari pengalaman (the so-called NZ experience) juga cari network sebanyak-banyaknya. Yo wis, jadi saya internship, di Council for International Development. Kalau ini, alhamdulillah pas ada lowongan intern, apply, dipanggil interview dan diterima (btw, mereka amaze dengan CV saya, katanya. Jadi bener kan kalo tanpa memperhitungkan NZ experience, CV saya masih menjual hehe…)

Saya internship di bidang sama dengan kerjaan saya dulu, masih development world, aka kuli bangunan hehe…Bagus juga buat saya, pemanasan. Grogi juga soalnya setelah 3 tahun lebih nggak kerja. Wish me luck! 😉 Btw, di sini juga saya dikasih tau teman-teman sekantor saya, New Zealand works based on networks. Yupe, 100% true. 

Cerita mantan tetangga saya juga sami mawon. Orang Irak, lulusan S3 dari Kansas, sudah hampir 2 tahun dia dan keluarganya di Wellington. Dia belum dapet kerjaan yang sesuai. Sekarang dia mau kuliah dulu lagi di VUW, ambil S2 Ekonomi.

Soal susah cari kerja ini sepertinya nggak cuman di Wellington aja. Saya punya teman sedang kuliah S3 di Auckland (orang Peru). Dia cerita, suaminya setahun lebih nggak dapat kerja. Sekarang udah alhamdulillah. Tapi saya nggak nanya juga, apa kerja yang sekarang dia dapat sesuai dengan bidang dia atau tidak.

Kalau untuk career break, it’s very common here. Saya berapa kali ketemu orang yang juga cerita kalau mereka dulu pernah break bekerja karena hamil lalu melahirkan. Rata-rata 5-8 tahun. Jadi itu bukan alasan kenapa saya nggak dipanggil interview sepertinya ya 🙂

Tapi kalau udah dapet kerja di sini, saya yakin orang Indonesia pasti survive. Etos kerja di sini santai. Orang kita kan udah biasa kerja keras, lembur sampai malam. Kantor suami kosong jam 5 teng. Dia selalu pulang paling akhir. Padahal pulangnya juga nggak malem-malem amat, jam 5:30 – 5:40.

3. Angin, (rumah) dingin, dan gempa bumi.

Berhubung pernah tinggal di Belanda, yang terkenal anginnya juga, saya agak menganggap remeh soal angin dan dingin ini. Yang bikin deg-degan malah gempa bumi. Ternyata saya salah (lagi) hehehe…

Setahun di sini, saya belum pernah ngerasain gempa bumi. Padahal kalau gak salah baca berita udah ada 5-6 kali gempa bumi selama setahun terakhir ini. Gempa lebih terasa buat yang tinggal di apartemen daripada di rumah biasa. Dan kalaupun sampai gempa, gedung-gedung tinggi di sini sudah didesain tahan gempa. Anak-anak di sekolah juga secara teratur latihan apa yang harus mereka lakukan kalau gempa. Anak-anak sudah hapal praktek “drop – cover – hold” luar kepala.

dropcoverhold
Latihan menghadapi earthquake di sekolah Rania

Dan kalau lihat rumah-rumah di sini yang dibangun di bukit, hanya dengan ditopang tiang-tiang, mereka sepertinya tenang sekali menghadapi gempa bumi. Mungkin karena di sini early warning systemnya juga baik sekali.

Angin dan dinginnya yang agak ajaib di sini hihi…Saya pribadi sebenarnya lebih suka udara dingin daripada panas (berhubung pernah juga tinggal di Muscat yang suhunya bisa mencapai 50an derajat, percayalah, saya tau kalau saya bilang saya lebih suka dingin hehe…).

Dan yang bikin parah di Welli ini (di NZ secara keseluruhan), di dalam rumahnya juga dingin! Most of the times, inside is colder than the outside. Di dalam rumah lebih dingin. Ajib! Itu karena insulasi di rumah yang dibangun sebelum tahun 2000 kurang memadai.  Baca di sini untuk lebih jelasnya.

Beda dengan rumah-rumah di Eropa. Di luar dingin, tapi begitu masuk rumah, hangat.

Padahal rumah di sini awet-awet umurnya. Banyak rumah yang dibangun tahun 1920 – 1960-an masih kokoh berdiri. Rumah yang kami kontrak waktu pertama datang juga lumayan. Dibangun tahun 1990an. Di compound, lengkap dengan fasilitas lapangan tenis, kolam renang dan gym. Cuman ya itu, rumahnya nggak maksimal insulasinya, nggak ada heat pump atau fireplace, dan ada masalah kondensasi.

501-JO22296-Wellington-City
Ini rumah yang kami kontrak waktu baru datang (yang abu-abu). Lingkungannya enak sebenernya, tapi rumahnya dingin.

Kondensasi juga jadi masalah umum buat rumah-rumah di Wellington. Crying window, istilahnya. Kalau ngontrak, kita kan nggak bisa pasang apa-apa. Paling banter idupin dehumidifier dan portable heater (yang wattnya gede, dan bayar listriknya mahal). Atau just do what the Kiwis do: put more layers. Orang sini budayanya hemat energi. Daripada ngidupin heater, mereka lebih senang pakai baju berlapis-lapis. Bahkan di dalam rumah. Adik saya suka komentar kalau skype dan lihat saya dalam keadaan pakai baju berlapis-lapis “Kak, di rumah kok pake jaket sih. Nggak santai amat…!” hihihi…Dingin, gilak!

cryingwindows
Jendelanya berembun

Memangnya nggak ada rumah dengan insulasi, pemanas dan ventilasi memadai di Wellington? Ada. Rumah-rumah relatif baru yang dibangun tahun 2000-an biasanya sudah lebih bagus insulasinya. Tapi supplynya lebih sedikit lagi, dan demand untuk rumah di Welli bener-bener rebutan. Buat beli ataupun sewa. Dan buat kita yang baru datang, agak susah buat sewa rumah yang demandnya tinggi. Pemilik rumah lebih suka menyewakan rumah untuk orang yang sudah lama di NZ, dan sudah ada rekomendasi dari pemilik rumah yang disewa sebelumnya.

Sekarang setelah punya rumah sendiri, keadaan jauh membaik. Walaupun rumahnya masih jauh dari sempurna, tapi sedikit demi sedikit bisa dibuat lebih nyaman. Insulasi rumah bisa diganti  yang lebih baik. Pasang heat pump. Dan untungnya rumah ada DVSnya, home ventilation system, yang dipasang di beberapa tempat di langit-langit rumah, yang mengatur perpindahan udara antar ruang. Kondensasi jadi nyaris nggak ada, no more crying windows, rumah juga nggak lembab. Yay!

Saya suka iseng ngajak ngobrol builder yang benerin rumah, sekalian biar agak ngerti soal insulasi, DVS, dll yang sebelumnya saya nggak ngeh. Menurut salah satu builder, jaman dulu tuh (sebelum tahun 2004), peraturan buat underfloor insulations basicnya pakai aluminium foil. Jadi banyak developer yang pakai aluminium foil. Insulasi kan harus tembus air, sedangkan alu foil nggak tembus air, jadi dibuat lubang-lubang sebesar kira-kira diameter 5 cm untuk setiap jarak 50 cm. Sami mawon kan jadinya, angin tetap bisa masuk juga, walaupun nggak sebanyak kalau nggak pakai apa-apa. Kemampuan aluminium foil juga kurang bagus untuk insulasi. Akibatnya, rumah jadi tetep dingin.

Underfloor insulation, dengan aluminium foil.
Underfloor insulation, dengan aluminium foil.

Good news is, ada peraturan yang baru keluar bulan Juli 2015 kemarin, kalau landlord wajib menginsulasi rumahnya dalam 4 tahun. Jadi semoga tahun 2019 nanti, rumah-rumah New Zealand sudah lebih hangat ya 🙂

4. Tiket pulang mahal 🙂
Dari semua negara yang pernah saya tinggali (Belanda, Oman, dan sekarang New Zealand), tiket pulang ke Indonesia termahal ya sekarang ini. Mana sekarang beli tiketnya 4, mantep!

Sebelum pindah ke Oman, kami sempat buat perjanjian dengan keluarga. Tetap ketemu 6 bulan sekali. Supaya anak-anak juga tetap dekat dengan sepupu-sepupunya. Waktu di Oman masih mungkin. Kami bisa pulang tiap tahun, keluarga juga datang, atau ketemuan di negara lain sekalian liburan bareng. Sekarang udah 1 tahun di sini, dan kami bisanya ketemu lewat skype hehehe…

5. Semua musti dikerjain sendiri

Nggak ada asisten di rumah, nggak ada sopir, nggak ada nanny, nggak ada tukang kebun, nggak ada tukang sayur keliling, nggak ada laundry kiloan. Well, ada sih kalo mau bayar part time bersih-bersih rumah $ 20 per jam, tukang kebun $ 30 per jam, plumber $ 65 per jam. Kalau nggak ada budgetnya, ya kayak saya dan suami, gantian ngerjain semuanya. Yang ini saya masih berjuang juga. Kadang ikhlas, seringnya ngomel hehehe Rumah diberesin, cuman rapih 10 menit, abis itu berantakan lagi. Welcome to my world!hehehe…

A LIGHT IN THE DARKNESS

Kalau sekarang kami memutuskan untuk menetap di sini, yang pasti itu bukan karena “udah terlanjur di sini, jadi ya nikmati saja”. Waktu baru pindah, kami juga sudah siap kok untuk pindah lagi, kalau memang di sini tidak cocok. Tapi setelah beberapa bulan di sini, kami senang. Satu sisi karena makin lama makin biasa dengan anginnya sini (anak-anak lebih cepat adaptasi. Spring sekarang aja, yang suhunya maksimal juga 18, anak saya yang paling kecil suka complain panas katanya. Haadeuuuh!). Dan di sisi yang lain, karena semua hal yang nggak enak di atas itu worth it. Negara ini bikin saya jatuh cinta. Untuk banyak hal. Di bawah ini sebagian di antaranya:

6. Friendly people, not racist.

Mulai dari orang asing yang ketemu papasan di jalan, sampai kasir, penjaga toko, polisi, petugas pos, tetangga, semuaaa. Saya pakai hijab, dan sejauh ini saya nggak pernah mendapatkan perlakuan yang nggak adil karena hijab saya itu. Termasuk setelah beberapa kali insiden sentimen terhadap Islam (Paris, Australia, dll).

Saya juga gabung di beberapa komunitas di grup FB dan juga di sini. Banyak sekali postingan orang yang minta bantuan, dan yang  lain dengan senang hati membantu. Community support and involvement di sini kuat sekali. Ada nenek yang mau jual rumahnya, dan butuh bantuan merapihkan backyardnya. Posting di group, dan banyak yang volunteer membantu. Lembaga amal banyak yang buka toko barang-barang bekas hasil sumbangan. Yang jaga? Ya volunteer. Yang butuh makanan? Banyak juga. Yang nyumbang? Lebih banyak lagi. Sebagian besar tanaman yang ada di kebun saya juga dapet dari orang lain, yang sebagian malah saya nggak kenal.

Untuk kumpulan orang-orang Indonesia sendiri, di sini ada beberapa. Ada yang sesuai agama (kami gabung di UMI – Umat Muslim Indonesia Wellington, yang untuk Katolik dan Kristen juga ada), ada KAMASI (Keluarga Masyarakat Indonesia, Wellington), dan KBRI Wellington juga aktif, banyak bikin kegiatan.

7. Anak-anak

They are actually the main reason we want to move to NZ. Alhamdulillah, krucils juga seneng di sini. Aman, bersih, nyaman, nggak ada polusi, anak-anak bebas main sepuasnya di alam terbuka. Sekolah bagus, student friendly, anak-anak bebas berekspresi (nggak heran kalau jemput Rania dan dia udah ganti baju atau gak pake sepatu, nyeker, lari-lari). Sekolah di sini juga sangat menghargai kepercayaan masing-masing. Kalau pas pelajaran agama (Kristen), Radit dan teman-teman lain yang nggak beragama Kristen bisa ke library. Hari Jumat juga kami bisa minta ijin buat Radit shalat Jumat. Dijemput sekitar jam makan siang, dan balik ke sekolah setelah shalat Jumat.

Belum lagi fasilitas umumnya buat anak-anak. Mulai dari pantai, museum, play park, kebun bunga, library, swimming pool. Duh, weekend selalu sibuk. Happy me, nggak usah pusing bikin kegiatan anak-anak musti ngapain, karena selalu ada aja event yang bisa didatangi. Dan sebagian besar GRATIS! Kadang malah jadi bingung milih yang mana, karena kegiatannya bareng.

oribay
Oriental Bay, salah satu tempat favorite kiddos

Lebih lega lagi karena sekolah anak-anak gratis. Nggak perlu mikirin uang sekolah anak-anak sampai mereka nanti insya Allah SMA itu rasanya lebih menyenangkan daripada ketemu pempekdurenmieayambaksocireng sekaligus. Untuk kuliah pun, biaya untuk domestic student jauh lebih murah (sampai 1/6nya) daripada untuk international student. Itu juga mereka bisa ambil student loan. Tanpa bunga. Bayar sendiri ntar ya nak pake gaji sendiri #emaktega.

8. Balanced- life

Budaya kerja di sini, selain santai, bisa pulang teng-go, jarang lembur, juga sangat memanusiakan manusia. Dari semua job offer yang pernah diterima suami saya (di beberapa negara di Afrika, Eropa dan Middle East), kontrak kerja di sini yang paling manusiawi menurut saya (karena suami males baca job offer, jadi sayalah sang tukang seleksi).

Suami saya kan orang network. Jadi kerjaannya itu kalau ada network error di kantor, dia ditelpon, gak peduli jam berapa. Mirip-mirip dokter gitu. Meskipun judulnya eskalasi, dia ditelpon hanya kalau yang lain nggak bisa handle, tetep aja itu banyak. Saya suka kasian sebenernya sama dia. Kalau liburan selalu musti bawa laptop. Malam kita capek abis pulang jalan seharian, dia masih begadang lagi, kerja. 99.9% liburan ya dia sambil kerja (saya takut lupa, jadi nggak 100% hehe). Mau nggak jalan-jalan kalau liburan kok ya kasian anak-anak (dan emaknya).

Dan di sini, kami bisa liburan tanpa suami kerja. Yay! Jadwal on callnya jelas. Setiap 5 minggu sekali. Di luar jadwal itu, di luar weekdays 8:30 am – 5 pm, hampir nggak pernah ada telpon. Ada ratenya juga kalau pas lagi jadwal on call. Kalau nggak ada error apapun selama dia on call, tetap ada kompensasinya. Kalau ada error? Ada kompensasi tambahan lagi. Manusiawi kan?

Kantor suami alhamdulillah fleksibel. Bisa nego untuk kerja di rumah setiap hari Jumat. Jadi suami bisa jemput Radit untuk shalat Jumat bareng. Sebelumnya, suami shalat Jumat di dekat kantornya. Radit saya yang jemput untuk shalat Jumat di masjid dekat rumah.

Nggak semua perusahaan di Wellington sistemnya begitu, tentu. Tapi tetap manusiawi. Beberapa bulan lalu suami sempat dapat job offer lagi, di Wellington juga (we stop discussing other job offers outside Wellington, at the moment 😉). Di situ nggak ada kompensasi untuk on call. Tapi ada bonus dan ada jatah cuti di hari ulang tahun. Menyenangkan ya?hehe 😀

Nggak heran kalau New Zealand ditetapkan sebagai negara no 2 di dunia untuk work/life balance dalam survey HSBC Expact Explorer 2015.

9. Outdoor life

Gak perlu dibahas lebih panjang soal ini, karena semua juga pasti udah pernah denger indahnya New Zealand. Indah, bersih, bebas polusi, nggak sumpek kebanyakan orang. Lebih dari 80,000 km2 atau sekitar 30% wilayah NZ dilindungi oleh Department of Conservationnya. Baik itu untuk keperluan wisata, science, sejarah ataupun budaya. Masuk ke sini jangan harap bisa bawa bibit-bibit tanaman atau makhluk hidup lain. Mereka sangat protektif dengan flora dan faunanya. Nggak heran kalau lingkungannya jadi terawat sekali.

IN THE END

Saya percaya setiap orang beda-beda. Yang nyaman dan cocok buat kami, belum tentu nyaman dan cocok buat yang lain. Kalau yang biasa punya pembantu, sopir, nanny, pasti agak susah untuk nyaman tinggal di sini. Tapi berhubung pernah ngerasain BTnya punya pembantu, jadi kadangan bikin saya mikir, mungkin lebih baik nggak punya pembantu (ini dalam rangka menghibur diri sendiri juga hehehe…). Pilihannya emang cuman 2 kayaknya ya: capek hati punya pembantu, atau capek fisik karena gak punya.

Juga jangan bandingkan Wellington dengan gemerlapnya Jakarta atau Dubai. Di sini mal kecil-kecil. Yang paling besar juga cuman segede MCC (di Muscat) atau kira-kira sebesar Pejaten Village. Jangan berharap Dubai Mall hehe…Tapi banyak restoran (penting buat saya hehe). Did you know that Wellington has more cafes, eateries etc per capita than New York?

Dengan biaya hidup mahal, pajak tinggi, nabung juga jadi butuh effort luar biasa. But if you’re looking for a quality of life, this is the place.

I consider New Zealand as a safe and steady base. Maybe we need to leave it someday, when the kids are bigger. Maybe someday, this small country will be boring. Besides, the world is too big not to be explored, right? We don’t know yet…What we know, right now, we are just grateful that we can live here, in this beautiful corner of the world, enjoying what life is really about. And even if someday we want to leave it, I will consider it as a temporary leave. New Zealand will always be my second home… 

Quoting again from my previous post on why we chose NZ:

You don’t move to New Zealand to get rich.

You feel rich by living healthy and having a balanced life in a beautiful environment.

Carpe diem 🙂

Follow my next blog post by email


Recommended Articles

11 Comments

  1. asiik rania betah di welly, sama dong kaya tante.. hehe.. kalau kata seseorang di http://www.enz.org/forum/showthread.php?t=30778&page=5&p=476588#post476588 sih, living in NZ itu “I feel like a rich man in everything except money” 🙂 #teamwellington #ilovewellington #ilovenz 😀

  2. Hihi iya bener ya Syva..where money can’t buy things bangeut! Btw Naisya kapan maen ke rumah Rania?

  3. Hi Mba Dedek, salam kenal ya. Udah silent reader dari beberapa hari yang lalu tapi baru bisa comment sekarang pas ketemu PC ;p

    Mba, thanks infonya tentang NZ permanent resident, seperti kisah Mba Dedek sekeluarga sekarangpun kami sedang mencari tempat berlabuh hehe, NZ sangat menarik ya xixixi.

    Semoga sehat dan bahagia selalu ya Mba Dedek dan keluarga. Ditunggu sharingnya yang lain

  4. Precisely why we want to move to NZ soon. The kid is the sole reason. Nice writing and love the details so much. I am writing notes! Thank you.

  5. Hi mba salam kenal, saya Rini. saya baru pertama baca” blog mba dan sangat menikmatinya 🙂 saya juga baca cara apply residen di NZ dimana saya lagi mulai cari informasi. Kalau tidak keberatan apakah saya boleh minta email mba? Trims 🙂

  6. Allo mba Rink, salam kenal ya. Email saya dagunawan@gmail.com ya mba 🙂

  7. Salam Kenal mbak… baca postingnya bikin saya makin pengen kesana

  8. Salam Kenal mbak… baca postingnya bikin saya makin pengen kesana 😍😍😍😍😍😍😍

  9. Terima kasih kerana menulis blog ini.menjadi rujukan berguna kami sekeluarga.Alhamdulillah kami juga berjaya mendapat visa resident dan menetap di Auckland. Terima Kasih.

  10. Wah, selamat ya mba. Semoga cepat settle ya di Akl. Kalau ke Wellington kabarin ya, siapa tau bisa ketemu 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *