Sudah pernah dengar tentang Mental Health Awareness Week (MHAW), belum?
Program ini sebenarnya sudah diinisiasi oleh Mental Health Foundation sejak tahun 1993 dan diperingati di lebih dari 150 negara, pada waktu yang berbeda-beda. Di Selandia Baru sendiri, MHAW diselenggarakan minggu ini, 21–27 September 2020.
Minggu ini jadi momen penting sebagai pengingat buat saya, untuk juga memperhatikan kesehatan mental, selain kesehatan fisik. Kalau sakit fisik, langsung berasa ya. Badan sakit-sakit, meriang, nggak nafsu makan, kita udah langsung tahu ada yang lagi nggak bener dengan tubuh kita. My body is not delicious I am not feeling well aka nggak enak badan. Dikerok, balur segala minyak, dan tidur yang lama, biasanya cukup membantu buat saya.
Tapi kadang kita abai dengan kesehatan mental. Padahal kesehatan mental sangat berpengaruh terhadap kondisi wellbeing kita secara keseluruhan.
Setiap orang pasti pernah mengalami pasang surut dalam hidup. Kadang kita lihat di sekitar kita, terutama di media (sosial) hanya yang bagus-bagusnya saja. Hidup tampak sempurna. Sulit untuk menerima ketika kita merasa hidup kita tidak sesempurna yang lain.
Toleransi dengan kelemahan diri sendiri
Gagal, coba lagi, gagal lagi, dikritik sana-sini, kadang bisa membuat kita rendah diri. Merasa diri tidak sempurna, dan ujung-ujungnya membenci diri sendiri.
Padahal semua orang punya kelemahan.
Tapi semua orang juga punya kelebihan.
Padahal semua orang pernah gagal.
Tapi tidak semua orang mau tetap berusaha dan berdiri lagi.
Ada satu teori psikologi yang namanya “Negativity Bias”. Jadi ketika kita dihadapkan dengan 2 keadaan, positif dan negatif, yang negatif akan lebih memberikan pengaruh lebih besar daripada yang positif.
Simpelnya begini. Misal kita posting sesuatu di media sosial, entah itu status atau foto, atau video. Dari puluhan komentar positif yang masuk, ada nyelip satu yang komentarnya nyinyir. Menurut teori itu, kita akan lebih terpengaruh oleh komentar negatif itu daripada yang positif, walaupun jumlahnya lebih sedikit. Dan itu normal sebagai manusia.
Konon, jaman dahulu kala, negativity bias ini membantu para nenek moyang kita yang berburu di hutan untuk mencari nafkah dan banyak bertemu dengan binatang buas yang berbahaya. Mereka jadi lebih peka terhadap kemungkinan buruk yang menghadang. Tapi di jaman sekarang, negativity bias ini membuat kita jadi terlalu memikirkan apa yang salah dengan diri kita.
Dan ini diperparah dengan keterbatasan kemampuan pikiran kita untuk menyaring informasi apa saja yang masuk ke dalam alam bawah sadar kita. Dengan saringan ini (atau bahasa kerennya attentional filters), dunia akan tampak seperti apa yang saat ini kita fokuskan.
Contoh simpelnya, mungkin waktu baca tulisan ini, teman-teman nggak terlalu memikirkan cuaca di luar seperti apa. Sekarang setelah sekarang saya tulis, jadi merhatiin nggak, cuaca lagi bagaimana?
Mungkin sama seperti orang yang sedang kasmaran berat. Fokus kita hanya tertuju ke satu orang itu, dimana-mana sepertinya jadi terbayang dia.
Kalau dua hal di atas, negativity bias dan attention filtering dijadikan satu, apa jadinya?
Ketika kita merasa tidak percaya diri, dan fokus kita adalah ketidakpercayaan diri kita dan betapa sempurnanya hidup orang lain, maka media dan hal-hal lain di sekitar kita akan makin memperburuk keadaan itu. Akibatnya bisa ditebak, kita makin merasa rendah diri dan sulit menerima kelemahan diri sendiri.
Untungnya, mencintai diri sendiri, termasuk semua kelemahan kita adalah satu keahlian yang bisa dipelajari pelan-pelan (lain kali kita bahas lebih mendetail ya untuk latihan mencintai diri sendiri ini).
Mungkin terdengar gampang buat saya ngomong seperti ini. Tapi selama 41 tahun saya hidup, saya juga pernah sering mengalami masa-masa sulit.
Saya pernah beberapa kali gagal.
Berapa usaha yang saya coba jalankan, dan gagal, sudah tidak terhitung.
Berapa kali putus sebelum akhirnya ada Pak Suami.
Saya pernah nulis selintas soal career break saya di sini. Yang tidak saya tulis adalah betapa depresinya saya ketika gagal berkali-kali melamar pekerjaan. Mungkin karena sudah terbiasa relatif gampang mencari pekerjaan di Indonesia, jadi ketika di sini mentok nggak dapet kerjaan setelah berbulan-bulan mencari, saya stress. Saya merasa tidak berharga.
Dan kondisi itu membuat saya tidak bisa berpikir jernih. Padahal kalau dipikir, ada banyak kegiatan yang bisa saya lakukan walaupun tidak bekerja. Ada banyak peluang di luar sana untuk tetap produktif. Tapi karena stress itu saya jadi nggak bisa mikir panjang. Pelampiasannya ya suami dan anak-anak.
Coba ngomong sama orang, sedikit yang bisa mengerti. Sebagian bilang ya udah nggak usah kerja kan nggak apa, penghasilan suami lebih dari cukup buat kami semua.
Mungkin maksudnya ingin menghibur. Tapi saya ingin menjerit sebenarnya kalau ada yang ngomong begitu. Bekerja bukan hanya masalah uang.
Bekerja juga masalah aktualisasi diri, supaya tetap bisa berpikir logis dan produktif. Saya malah sakit kalau nggak kerja.
Pelajaran juga buat saya. Kadang kita suka asal komentar tanpa tahu masalah sebenarnya seperti apa.
“Udah dikasih karunia banyak sama Allah, kok masih stress.”
“Berdoa aja, kan ada Allah”
“Kayak nggak beriman aja, masih suka stress.”
Just be there mungkin udah cukup.
Tidak perlu memberi nasihat kalau tidak ditanya.
Terkadang kita juga hanya perlu teman ngobrol dan hahahahihihi aja kan, tidak perlu solusi. Ntar solusi dipikirkan belakangan, ketika otak sudah bisa diajak berpikir jernih 🙂
Beruntung saya punya keluarga yang supportif. Yang bisa menyakinkan saya, kalau harga diri saya tidak melulu tergantung oleh pekerjaan saya. Kalau saya tetap berharga walaupun pengangguran. Terdengar sepele, tapi itu sempat jadi masalah besar buat saya yang membuat saya melupakan karunia Allah yang sebenarnya berlimpah buat saya.
Stop comparing, start flowing
Nggak ada kehidupan yang sempurna. Berhenti membandingkan diri kita dengan orang lain.
Fokus dengan diri kita, kemampuan kita, dan mimpi kita. Kalau semua sempurna, udah bukan manusiawi lagi namanya. Itu yang bikin hidup lebih hidup kan. Dengan segala keterbatasan dan kelemahan yang kita miliki, kita juga diberi kemampuan untuk mewujudkan mimpi-mimpi kita.
Toleransi dengan orang yang berbeda dengan kita
Kita tidak sempurna. Orang lain juga.
Sama halnya dengan menerima diri kita apa-adanya, hidup lebih plong rasanya kalau kita bisa menerima orang lain, termasuk pendapatnya, apa adanya juga.
Choose your battle wisely. Tidak semua yang berbeda pendapat itu layak diperjuangkan dengan saling ngotot pendapat siapa yang paling benar. Terkadang perbedaan itu malah memperkaya pengalaman dan hidup kita. Kebayang nggak betapa membosankannya hidup kalau semua sama dan seragam? Berdebat juga musti pilih-pilih. Pilih yang bisa memperkaya pengalaman dan sudut pandang. Tidak semua harus ditanggapi.
Kalau sudah ketemu orang yang hobinya ngotot, merasa paling benar sendiri, tidak mau mendengarkan pendapat orang, saya lebih baik minggir. Buat saya nggak ada untungnya. Semua orang berhak punya pendapat masing-masing, sesuai dengan latar belakangnya. Kalau mau tetap ngotot mempertahankan pendapat, ya monggo. Tapi jangan sama saya. Saya nggak punya waktu dan energi untuk mendengarkan.
Karena buat saya yang paling penting adalah menjaga kewarasan.
My mental health is the most important.
Kadang kita sebagai Ibu, sibuk mengurus keluarga dan anak-anak, sampai lupa mengurus diri sendiri.
Waktu kita habis mengerjakan segala rutinitas, sampai lupa meluangkan waktu untuk diri sendiri.
Lupa mencintai diri sendiri.
How can we give when we are not full?
Kalau kita tidak bisa toleransi dengan semua kelemahan kita, apa jadinya?
Padahal satu-satunya orang yang akan hidup bersama kita selamanya adalah diri kita sendiri.
My body is not delicious
Artinya, beneran tidak enak badan yaa mbak 😅😅
Dedekkkk mental health penting bgt..aku skrg ngikutin byk kelas online utk bantu mental health aku..dan aku paling sedih kl lagi down bgt terus dibilang think positive..duh rasanya mau nangis kalau aja mereka tau betapa susahnya melawan pikiran negatif 😁
Sebelum mencintai orang lain, lebih baik mencintai diri sendiri terlebih dahulu. Bukan berarti harus egois.
hahaha iyaaa mas, bahasa don’t rich people difficult 😀
aaahhh I know how you feel mbaaa…kalau lagi down itu nggak bisa mikir positif emang ya…virtual hugssss
setuju mba, dengan mencintai diri sendiri kita malah lebih bisa berbagi dengan orang lain 🙂